Langsung ke konten utama

Lie with Me (2005)

Bosan mengikuti kasusnya Peter âEśPornâEť, Luna Maya, Cut Tary dan mungkin banyak perempuan lainnya? Atau, merasa tidak menarik lagi menyaksikan adegan panas yang diperagakan orang-orang mirip artis papan atas itu di potongan video berdurasi amat pendek itu? Mungkin baik juga kalau Anda menonton film yang lain, ya, yang mirip-mirip dengan adegan-adegan menantang dari para pesohor kita itu. Karena inti dari film-film semacam itu tidak lebih dari memaksimalisasi imajinasi dan daya dorong seksualitas manusia, mungkin film Lie with Me (2004) bisa menjadi pengganti yang tepat. Saya sepakat dengan hampir semua kritik film yang pernah saya baca di internet mengenai film ini, bahwa film ini penuh denganâEťdialog konyol dan bodohâEť yang coba menggambarkan pemberontakan dua orang muda, Lauren Lee Smith (sebagai Leila) dan Eric Balfour (sebagai David), berasal dari keluarga kelas menengah perkotaan yang ingin membebaskan diri dari berbagai pembatasan dan pengaturan hidup oleh nilai-nilai masyarakat. Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama yang ditulis Tamara Berger dan disutradarai Clement Virgo memang tidak berhasil menunjukkan pemberontakan dua anak muda itu terhadap nilai-nilai puritan yang dijunjung tinggi masyarakat, misalnya orang muda yang belum menikah tidak boleh melakukan hungan seks. Meskipun demikian, gambaran sekilas mengenai situasi masyarakat yang telah terpecah dan tidak sanggup mempertahankan nilai-nilai moral puritannya bisa ditemukan dalam beberapa adegan. Coba Anda bayangkan kata-kata kata-kata ayahnya David (Pak Joshua) yang mengizinkan putranya bisa membawa pacarnya ke rumah mereka dan boleh melakukan hubungan seks sesuka mereka. Kata Pak Joshua, âEťKamu boleh melakukan hubungan badan sebelum menikah di rumahku ini.âEť Film Lie with Me memang bukan sebuah film yang kuat karakter dan ceritanya. Film ini hanya mampu memanjakan mata kita dengan berbagai pesona kehidupan kelas menengahâE" apartemen yang mewah dan artistik, keindahan dan glamornya hidup manusia, dan tentunya dorongan seks. Film ini memotret perubahan pandangan kaum perempuan terhadap kehidupan dan seks. Ketika pandangan masyarakat tradisional mengatakan bahwa perempuan harus mengikatkan diri sebagai istri kepada seorang pemuda yang menyukai, melamar, dan menikahinya, dan kemudian memberikan seluruh dirinya kepada pekerjaan domestik pengurusan suami, anak-anak, dan rumah tangga, Leila menunjukkan pemberontakannya. Lihat bagaimana pandangan sangat liberalnya dia mengenai seks. Dalam salah satu dialog Leila mengatakan, âEťSaya tidak ingin menjadi orang baik. Saya tidak mau menjadi seorang gadis manis. Saya hanya ingin menjadi seorang gadis nakal hanya demi dia [sang pemuda pujaan hatinya]. Saya hanya mau menyetubuhi tubuhnya. Ketika saya bisa bersetubuh dengannya bukan demi mendapatkan cintanya, saya akan berhenti berlari.âEť Karakter seorang Leila yang digambarkan dalam film ini sungguh-sungguh sebuah pemberontakan terhadap berbagai kontrol dan domestikasi dorongan seks. Leila dipotret sebagai orang yang nyaris memenuhi seluruh dorongan seksnya. Dia tidak peduli dengan berbagai pembatasan nilai dan norma, dan demi memuaskan dorongan seksualnya, dia berani mengambil inisiatif, mencari dan menemukan siapa saja pria yang mau memuaskan nafsunya. Apa yang ingin dicapai atau diraih Leila? Dalam dialog dia mengatakan, âEśAku berharap untuk bisa mengendarai sepedaku selamanya. Aku berharap agar matahari tidak pernah terbenam. Musim panas akan terus berlanjut dan terus demikian sampai semua orang keluar ke jalan-jalan dan merasakan seperti yang aku rasakan.âEť Apa yang Leila rasakan? Bagi Leila, semua dorongan alamiah seharusnya diekspresikan dengan bebas tanpa pembatasan, termasuk ekspresi dorongan seksual yang oleh masyarakat dianggap paling tabu dan paling dilarang untuk diekspresikan secara publik. Tapi, apakah gaya hidup liar sebagaimana ditunjukkan Leila berhasil mewujudkan apa yang dicita-citakan. Sayang film ini tidak berhasil menunjukkan potret itu, dan mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa film ini dianggap sebagai sampai (âEťrotten tomatoâEť). Bagaimana pun juga, kenikmatan seks bisa membelenggu dan menjerat kalau tidak dikelola atau dibudayakan masyarakat. Film ini menunjukkan bagaimana seorang Leila yang sebelumnya mau bercinta dengan siapa pun laki-laki yang dia mau tanpa harus mendapatkan cinta mereka, kini dia menjadi sangat melekat dengan David. Cinta dan gairah seks yang diekspresikan oleh dua anak muda ini sungguh-sungguh âEťmemenjarakanâEť mereka, membuat mereka menjadi âEťsatu tubuhâEť yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Dialog intens di antara keduanya menunjukkan ketakbersihan ini. Di sini kita lalu bisa memahami dengan baik betapa institusi perkawinan yang dikonstitusi masyarakat sungguh memperadabkan manusia. Bayangkan jika tanpa institusi ini di mana semua orang mengekspresikan dorongan naluriah dan alamiah seksnya kepada siapa saja yang dia kehendaki. Dari perspektif ini sebenarnya apa yang ditunjukkan oleh karakter Leila justru memperlihatkan kelemahan kontrol diri seorang perempuan. Imajinasi membebaskan diri dari berbagai kungkungan atau pembatasan norma moral justru berakhir pada kehidupan tanpa pembatasan norma yang merugikan diri sendiri. Sama seperti potret yang ditunjukkan dalam novel yang menjadi sumber film ini, batas antara mana yang porno dan mana yang artistik menjadi tidak jelas. Nah, jika batasan ini menjadi tidak jelas, bagaimana kita bisa mengklasifikasi film ini? Di negara-negara yang menayangkan film ini di bioskop-bioskop mereka, film ini dikategorikan sebagai film dengan adegan dewasa sehingga perlu bimbingan orang tua (Parental Guidance). Tahun 2006 saja film ini diberi angka 5 dari nilai tertinggi 10. Bagaimana pun juga, tentu film ini lebih bermutu daripada yang Anda saksikan dengan peran mirip artis terkenal yang sedang bermasalah secara hukum itu. Kalau Anda ingin menontonnya, cari saja di rental video asli, pasti ada. Tentu di tempat penjualan film bajakan bisa ditemukan, tetapi dijamin mutunya sangat buruk. Mau mencoba?