Langsung ke konten utama

Steve Jobs (2015)


Dua film tentang Steve Jobs dalam dua tahun berturut-turut? Terlalu banyak? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Ada sebagian penontonnya yang tidak cukup bisa menikmati âEśJobsâEť buatan Joshua Michael Stern yang memasang Ashton Kutcher sebagai karakter sentralnya. Jangan salah, secara fisik Kutcher sebenarnya cukup oke, sepintas ia terlihat tidak berbeda jauh dengan Steve Jobs yang asli. Tidak ada yang salah juga dengan filmnya kecuali mungkin ia terlihat terlalu biasa untuk menceritakan sosok yang luar biasa. Jobs berakhir seperti biografi medioker konvensional, jauh dari kesan berkelas, tidak ada yang spesial, seperti menumpahkan begitu saja semua dari setiap halaman buku biografinya mentah-mentah ke media audio visual tanpa menyertakan jiwa dan hati. Nah, jika kamu adalah penonton yang kecewa dengan apa yang dilakukan Stern, mungkin versi Danny Boyle ini bisa mengobati luka itu. Steve Jobs masih didasarkan kepada pengalaman hidup dari CEO legendaris Apple yang kisahnya dipinjam dari buku autobiografi berjudul sama yang ditulis Walter Isaacson 2011 silam. Tentu saja kali ini ada perlakuan berbeda terlebih ketika kamu memasang screenwriter jempolan sekaliber Aaron Sorkin untuk mengodok naskahnya. Ya, terakhir menyaksikan bagaimana Sorkin menggarap cerita tentang para jenius komputer adalah 2009 lalu ketika ia bersama sutradara David Fincher berhasil menghadirkan salah satu biografi paling solid dalam Social Network. Kini Sorkin dipasangkan dengan Danny Boyle, sutradara kawakan asal Inggris yang sudah juga punya kapasitas penyutradaraan mumpuni, dan hasilnya memang sangat memuaskan, membuat Jobs milik Stern terasa seperti Dora The Explorer. Boyle dan Sorkin seperti paham benar bagaimana memperlakukan seorang game changer dalam dunia industri teknologi macam Steve Jobs sesuai dengan sepak terjangnya selama ini. Tidak ada keraguan bahwa Steve Jobs adalah sosok besar dan dunia sangat kehilangan dirinya ketika ia meninggal Oktober 2011 silam. Ia adalah manusia yang punya cara pandang dan pola pikir tak biasa. Sesuai dengan moto Apple-nya, âEśThink DifferentâEť, Steve Jobs versi Boyle pun menyajikannya dengan cara yang berbeda pula. Tidak seperti kebanyakan biopik yang memulai segalanya dari bawah, Boyle membaginya hanya dalam tiga bagian besar dalam format dan rasio berbeda; Pertama adalah even di saat peluncuran perdana Macintosh yang revolusioner disyut dengan lensa 16mm dan rasio 4:3 kemudian setelahnya langsung meloncat jauh ke empat tahun kemudian ketika ia memperkenalkan NeXT Computer sebagai ajang balas dendam setelah dipecat sepihak oleh Apple, yang terbungkus dalam format 35mm hingga kemudian diakhiri dengan loncatan lebih jauh lagi ke 10 tahun ke depan dalam tampilan HD yang jernih di saat Jobs melakukan sebuah penebusan diri di saat melakukan launching iMac G3-nya. Presentasi Boyle mungkin terlihat aneh untuk sebuah film biografi yang bisanya tersaji teratur secara periodik, apalagi dengan set yang kebanyakan berada di belakang panggung dengan momen beberapa saat menjelang presentasi produk yang nyaris sama di setiap bagiannya. Ini jelas adalah sebuah perjudian besar penuh risiko. Jika salah mengolah ini akan menjadi tontonan yang repetitif, tetapi di sinilah âE~sihirâE™ Sorkin kembali bekerja. Steve Jobs memang tidak menawarkan sebuah plot konvensional yang mungkin akan membuat sebagian penontonnya tak nyaman, tetapi setiap momen penting dalam hidup Jobs berhasil dibentuk dalam sebuah narasi padat dalam bungkusan rangkaian dialog-dialog luar biasa yang mungkin hanya bisa dibuat oleh kepiawaian seorang Aaron Sorkin. Setiap momen begitu efektif membius penontonnya. Melihat bagaimana Michael Fassbender menjalankan tugasnya membawakan sosok seikonik Steve Jobs dengan salah satu penampilan terbaiknya. Ya, berbicara soal Fassbender tentu saja menarik mengingat ia bukan pilihan pertama memerankan tokoh Steve Jobs (sebelumnya ada nama Leonardo DiCaprio, Christian Bale, Matt Damon, Ben Affleck sampai Bradley Cooper) dan secara fisik ia juga tidak terlalu mirip dengan mendiang Steve Jobs meski dipakaikan turtle neck, celana jeans dan kaca mata, namun Fassbender membuktikan bahwa ia memang aktor kelas atas yang bisa memerankan siapa saja bahkan karakter serumit Steve Jobs sekalipun. Boyle mampu memaksimalkan potensi Fassbender, memberikan penontonnya sebuah studi karakter yang kompleks sekaligus menantang dengan nuansa layaknya drama teatrikal yang diisi dengan banyak duel akting hebat dari para pemain-pemain yang sama hebatnya. Penonton mudah mengenal Steve Jobs, pribadi menarik bak dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi ia adalah teknologi jenius, seorang artis teknologi perfeksionis nan nyentrik dengan visi dan misi yang tidak ada duanya. Sementara di sisi lain yang lebih gelap Jobs juga adalah manusia paling keras kepala yang pernah ada di muka bumi dengan ego sebesar gunung yang terkadang bisa sangat tega bahkan kepada orang terdekatnya sendiri. Coba saja lihat saja di opening-nya ketika ia begitu ngotot meminta Andy Hertzfeld untuk memperbaiki demo suara Machintosh-nya atau ia akan membuat malu kepala mekaniknya di depan umum, atau lihat bagaimana ketika ia menolak mentah-mentah permintaan sahabatnya, Steve Wozniak (Seth Rogen) untuk sekedar mengakui kerja tim Apple II di setiap presentasi produknya. Ya, Jobs memang keparat hebat yang keras kepala, bahkan ia juga bukan sosok ayah yang baik ketika ia sempat tidak mau mengakui putrinya sendiri, Lisa. Namun Boyle tidak melulu mengekspos sisi kontroversial seorang Steve Jobs, perlahan namun pasti sutradara Trainspotting itu juga menghadirkan sebuah proses lembut dalam usaha Jobs berdamai dengan dirinya sendiri yang sedikit banyak turut dibantu oleh pengaruh marketing executive-nya; Joanna Hoffman (Kate Winslet) yang setia menemaninya puluhan tahun.